08 April 2008

Suara Budayawan untuk Amandemen Ke-5 UUD 1945

Diskusi Budaya, 3-April-2008 di Jakarta.
WS Rendra, Bivitri Susanti, Jenar Maesa Ayu, Lola Amaria, Denada, Happy Salma, Helmalia Putri, Tengku Fiola, Jeremias Nyangoen.


Diskusi Budaya 2, Amandemen Ke-5 UUD 1945
Mutlak Diperlukan Demi Kemajuan Budaya Bangsa

03 April 2008

POKOK-POKOK KONFERENSI PERS

.

POKOK-POKOK

KONFERENSI PERS KELOMPOK DPD DI MPR

TENTANG MATERI AMANDEMEN UUD 1945

.

  1. Konstitusi adalah hukum dasar bernegara yang memerlukan perbaikan-perbaikan agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan berbegara. Demikian pula halnya dengan usul perubahan lanjutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Karena sesungguhnya UUD 1945 bukanlah immortal constitution, melainkan konstitusi itu sendiri memungkinkan untuk diubah berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Perubahan lanjutan dilakukan, karena UUD 1945 harus terus menjadi the living and working constitution.
  2. Seiring dengan dinamisnya praktek sistem ketatanegaraan Indonesia, tentu konstitusi kita harus dapat menyesuaikan dengan kekinian dan masa depan. setelah perubahan konstitusi 1999 - 2002, meskipun desain konstitusi yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan, tetap masih menyisakan problematika aturan main bernegara. Karenanya, perubahan kelima perlu dilakukan untuk terus menyempurnakan hukum dasar yang menjadi pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  3. Pada Mei 2007 yang lalu Anggota MPR dari Kelompok DPD dan beberapa Fraksi/Parpol di DPD mengajukan usul Perubahan Pasal 22D UUD 1945. Untuk mengakomodasi berbagai pandangan dan pendapat yang berkembang, para pengusul menyepakati untuk belum meneruskan proses usul amandemen UUD 1945, dan akan melanjutkannya setelah melakukan pembahasan secara intensif dan komprehensif mengenai materi amandemen UUD 1945.
  4. Prinsip yang menjadi pegangan perubahan disepakati bahwa nama hukum dasar tetap menggunakan UUD NRI Tahun 1945, guna menjaga semangat perjuangan dan independensi yang melekat pada tahun kemerdekaan tersebut. Selanjutnya, hal-hal yang menjadi kesepakatan dasar MPR, ketika melakukan Perubahan Pertama hingga Keempat, juga terus ditegaskan dalam perubahan lanjutan ini, yaitu tidak berubahnya pembukaan, negara kesatuan dan penguatan sistem pemerintahan presidensial. Kesepakatan tersebut perlu ditegaskan, untuk menyatakan bahwa perubahan ke depan tidak akan membongkar pondasi dasar kehidupan bernegara khususnya yang berhubungan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Kesepakatan-kesepakatan demikian disadari sebagai sebuah konsensus politik nasional, yang menjadi prasyarat kemungkinan berlanjutnya perubahan UUD.
  5. Format metode perubahan adalah tetap yakni addendum, untuk melanjutkan pola sebelumnya, sehingga maknanya amandemen selanjutnya menjadi perubahan kelima, dan seterusnya.
  6. Untuk menyusun naskah amandemen UUD 1945 yang komprehensif, Kelompok DPD di MPR melakukan serangkaian kegiatan yang meliputi:
    • Expert meeting yang melibatkan para ahli/pakar dan institusional dari berbagai disiplin ilmu yakni ahli/pakar hukum tata negara, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, serta beberapa Gubernur, Bupati, Walikota dan Asosiasi DPRD, yang representatif dari berbagai daerah di Indonesia serta para Pimpinan Redaksi media cetak dan elektronik.
    • Seminar dan Focus Group Discussion bekerjasama dengan perguruan tinggi (UGM, ANDALAN, UNIV '45 Makassar, UI, Unpad, UII, dll).
    • Rapat Dengar Pendapat dengan Lemhannas, LIPI, Lembaga Administrasi Negara, dan Lembaga Kajian Konstitusi (para mantan anggota Komisi Konstitusi).
  7. Secara substansi, perubahan lanjutan akan menyempurnakan prinsip saling kontrol dan saling imbang (checks and balances) pada cabang-cabang kekuasaan, yang meliputi:
    • Bidang eksekutif, pemilihan presiden secara langsung dengan membuka peluang adanya calon independen, yang akan merubah dominasi partai politik yang saat ini memonopoli pencalonan presiden.
    • Bidang legislatif, MPR ditegaskan sebagai joint session yakni, forum gabungan saat DPR dan DPD melakukan sidang bersama. Kewenangan DPD dikuatkan agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi, harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Dalam proses legislasi, DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknya sebuah RUU perubahan tersebut. Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan struktural, terutama berhubungan dengan personal DPD. Proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD, yang saat ini ada tingkat UU ke tingkat konstitusi. Sehingga, sistem parlemen Indonesia ke depan akan mengarah kepada sistem parlemen bikameral yang efektif, meski tidak mengarah kepada bikameral yang sama kuat (perfect bicameralism). Karena, perfect bicameralism berpotensi mengarah kepada kebuntuan proses politik.
    • Bidang yudikatif, sebaiknya ditegaskan konsep MK sebagai court of law dan MA sebagai court of justice. MK sebaiknya diberikan kewenangan untuk menguji semua peraturan perundangan. Sedangkan MA diberikan kewenangan forum previlegiatum untuk memutus kasus kejahatan pada tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat negara. Kewenangan MK juga perlu ditambah untuk memeriksa permohonan constitutional complaint. Kewenangan demikian adalah penting untuk menjamin aturan HAM di dalam konstitusi tidak hanya menjadi aturan kosong, tanpa perlindungan konkrit kepada semua warga negara. Masih di bidang HAM, secara legal drafting masih ada aturan yang tumpang tindih dan repetisi. Lebih substantif, masih diperlukan perubahan lanjutan, untuk menegaskan terwujudnya perlindungan HAM, misalnya terkait dengan jaminan kebebasan pers dan hak mogok.
    • Membangun pemisahan kekuasaan di dalam konstitusi, yang harus menampung lahirnya independent agencies,yang memperkuat bangunan negara hukum. Artinya, Komnas HAM, KPK, Komisi Kebebasan Pers, KPU harus diangkat menjadi organ konstitusi, untuk melakukan fungsi kontrol penegakan HAM, pemberantasan korupsi, menjamin kebebasan pers dan pemilu yang luber dan jurdil. Peletakkan independent agencies ke dalam konstitusi tersebut, disamping untuk memperkokoh bangunan negara demokrasi konstitusional Indonesia juga untuk menjawab makin kompleksnya permasalahan ketatanegaraan modern.
    • Reformasi hubungan pusat dan daerah, juga harus diagendakan dalam perubahan konstitusi kita. Dengan kuatnya tuntutan otonomi daerah, harus diberikan jaminan konstitusi yang tegas agar sejalan dengan bentuk negara kesatuan. Desain konstitusi, harus menemukan formula yang tepat untuk terus mendorong desentralisasi, yang tidak menumbuhkan potensi disintegrasi. Masih dalam konteks otonomi daerah, konstitusi juga mesti mempunyai norma yang berpihak kepada keberagaman dan kekhususan daerah, ataupun masyarakat adat setempat.
  8. Naskah materi usulan amandemen UUD 1945 tersebut belumlah bersifat final, karena masih merupakan bahan yang perlu terus didiskusikan dan disempurnakan melalui tahapan sosialisasi dan uji publik, baik kepada jajaran partai politik maupun seluruh stakeholders di daerah.
  9. Selain itu, Naskah materi usulan amandemen UUD 1945 dimaksud untuk bahan masukan kepada komisi/panitia nasional yang akan dibentuk oleh Presiden atau Presiden menugasi komisi yang telah ada untuk menelaah sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, dan pranatan hukum.
  10. Secara on line dapat dilihat di:

28 Maret 2008

NASKAH RANCANGAN USULAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DAN PENJELASANNYA

.
.

RANCANGAN USULAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR DAN PENJELASANNYA

.
.
Penyusun Team Plus 9
24 Maret 2008
.

PENGANTAR

Salah satu agenda utama reformasi, yaitu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah dilaksanakan empat kali dalam periode 1999-2002 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perubahan tersebut mendorong perbaikan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Namun, bukan berarti konstitusi hasil perubahan tidak memerlukan perbaikan-perbaikan untuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa. Setelah Perubahan Pertama hingga Keempat dilakukan, perubahan tetap perlu diteruskan untuk menyempurnakan hukum dasar bernegara. Perubahan lanjutan dilakukan agar UUD 1945 terus menjadi living and working constitution.

Perubahan yang seiring dengan dinamisnya ketatanegaraan tentu harus juga berjalan cepat, tidak cukup hanya dengan perubahan tambal-sulam yang parsial, namun harus merupakan konsep perbaikan yang lebih komprehensif-menyeluruh. Satu dan lain hal, karena perubahan yang parsial sedikit banyak merupakan salah satu titik lemah dari perubahan tahap-demi-tahap yang dilakukan MPR pada periode reformasi konstitusi 1999-2002. Demikian pula dorongan perubahan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada tahun 2007, yang mengusulkan perubahan hanya pada pasal 22D, pada akhirnya tertolak. Penolakan tersebut bukan hanya karena tidak mendapatkan dukungan politik yang memadai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi juga karena pasal yang diajukan sangat terkait dengan pasal-pasal lain dalam proses legislasi. Sehingga pengusulan perubahan parsial hanya pada pasal 22D saja memang memiliki kelemahan konseptual yang membuka peluang penolakan.

Berangkat dari perubahan konstitusi adalah keniscayaan zaman, serta perlunya dibuat perubahan yang lebih komprehensif, maka upaya menyempurnakan perubahan UUD 1945 perlu didukung oleh mayoritas kekuatan politik. Terlebih, jika mengacu pada jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia di bulan Juli 2007, maka jelas sekali dukungan rakyat kepada agenda perubahan konstitusi. Dari survei tersebut terekam 73 persen warga mendukung amandemen UUD untuk memperkuat wewenang DPD, utamanya dalam hal legislasi.

Tentang keniscayaan perubahan UUD, Franscois Venter berpendapat konsep ‘konstitusi’ itu dinamis. Menurutnya, Konstitusi yang ‘final’ itu tidak ada, karena konstitusi suatu negara itu bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri(1). Sedangkan John P. Wheeler, Jr. terang-terangan berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah satu keniscayaan(2). Romano Prodi bahkan mengatakan, “konstitusi yang tak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah”, karena “ia tidak bisa beradaptasi dengan realitas; padahal sebuah konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan realitas yang terus berubah”(3). Bahkan,

1. Franscois Venter, ‘Constitution Making and the Legitimacy of the Constitution’ in Antero Jyranki (ed), National constitutions in the Era of Integration (1999) hlm. 19.
2. John P. Wheeler, Jr., ‘Changing the Fundamental Law’ dalam John P. Wheeler, Jr. (ed), Salient Issues of Constitutional Revision (1961) 49.
3. Anthony Browne, ‘Prodi Fears Sceptics will Neuter EU Constitution Vote 2004, 15 Juni 2004.

menurut Brannon P. Denning, sebuah mekanisme amendemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi-generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif “menjalankan kekuasaan-kekuasaan mereka untuk memerintah”.(4) Tidak berbeda, Thomas Jefferson menegaskan hukum-hukum dan lembaga-lembaga harus seiring sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Ketika pemikiran manusia menjadi lebih maju, lebih tercerahkan, ketika temuan-temuan baru dibuat, kebenaran-kebenaran baru ditemukan, dan sikap-sikap serta pendapat-pendapat berubah, sejalan dengan berubahnya situasi dan kondisi, maka lembaga-lembaga negara pun harus ikut maju agar tidak ketinggalan zaman.(5)

James L. Sundsquist mencatat bahwa tak lama setelah diberlakukannya konstitusi tertulis pertama di Amerika, James Madison menyatakan, “Saya bukanlah salah satu di antara orang-orang—kalau memang ada—yang berpikir bahwa Konstitusi yang baru saja diberlakukan ini adalah sebuah karya tanpa cacat”.(6) Dua puluh delapan tahun kemudian, Gubernur Morris menulis, “Segala yang manusiawi tak mungkin bisa sempurna”.(7) Menyuarakan hal serupa, Edward McWhinney berpendapat, seperti halnya sebuah konstitusi, konstitusionalisme adalah konsep yang juga dinamis.(8) Hubungan antara konstitusionalisme dan pemerintah terus-menerus berubah, di mana konstitusi itu sendiri adalah bukti paling gamblang dari perubahan itu.(9) Lebih jauh McWhinney menggarisbawahi bahwa tugas dan tanggung jawab utama elite-elite politik dalam sebuah pemerintahan yang konstitusional adalah mengantisipasi, mengoreksi, dan mengubah substansi-substansi sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yang sama ke arah sebuah proses menuju demokrasi.(10) Karenanya, menurut Friedrich, dalam konstitusi-konstitusi modern, aturan-aturan untuk melakukan amendemen membentuk satu bagian yang vital.(11) Sealur dengan Friedrich, McWhinney menyatakan:

…… setiap sistem konstitusi harus selalu memiliki satu sifat inheren untuk selalu berubah; dan konstitusionalisme itu sendiri tidak semata-mata menjadi nilai-nilai substantif yang dituliskan menjadi sebuah piagam konstitusi, melainkan proses-proses aktual perubahan-perubahan konstitusi itu sendiri.(12)

Dalam hal kondisi faktual Indonesia, setelah perubahan konstitusi 1999 – 2002, meskipun desain konstitusi yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan, tetap masih menyisakan problematika aturan main bernegara. Karenanya, perubahan kelima dan seterusnya wajib dilakukan untuk terus menyempurnakan hukum dasar yang menjadi pegangan kehidupan bernegara.

4. Brannon P. Denning, ‘Means to Amend: Theories of Constitutional Change’, 65:155 Tennessee Law Review, hlm 160.
5. Jefrey Reiman, ‘The Constitution, Rights, and the Conditions of Legitimacy’ dalam Alan S Rosenbaum (ed), Constitutionalism: the Philosophical Dimension (1988) 127.
6. James L. Sundsquist, Constitutional Reform and Efective Government (1986)
7. Ibid.
8. Edward McWhinney, Constitution-Making Principles, Process, Practices (1981) 132.
9. James A. Curry, Richard B Riley, dan Richard M Battistoni, Constitutional Government: the American Experience (1989).
10. McWhinney, loc. cit., hlm. 132.
11. Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America (1950) hlm. 135.
12. McWhinney, loc. cit., hlm. 132.

METODE PERUBAHAN

Perubahan-perubahan konstitusi hanyalah bagian dari pembuatan konstitusi.(13) Wheeler membedakan antara amendemen (amendment) konstitusi dan revisi (revision) konstitusi.(14) Dia mendefinisikan sebuah ‘amendemen’ sebagai “perubahan dalam lingkup yang terbatas, yang mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam sebuah konstitusi”; sedangkan ‘revisi’ didefinisikannya sebagai “menimbang-ulang (reconsideration) keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi”.(15)More...

Berangkat dari konsep reformasi konstitusi di atas, maka model perubahan sangat jelas direpresentasikan oleh Amerika Serikat; sedangkan cara revisi dilakukan berkali-kali oleh Perancis. Indonesia dengan Perubahan Pertama hingga Keempat sebenarnya melakukan model revisi tetapi dengan tetap mendeklarasikan dan mempertahankan format amandemen. Untuk agenda perubahan lanjutan, model perubahan ala Amerika Serikat yang dipadukan dengan model Perancis tersebut agaknya tetap menjadi pilihan. Penyebutan Perubahan Kelima adalah pilihan yang menunjukkan diadopsinya model Amerika; sedangkan substansi perubahan yang komprehensif, menunjukkan dipilihnya model perancis. Penggabungan kedua model tersebut dipilih karena, menegaskan sistem revisi saja – yang berarti melahirkan UUD baru – sulit dilakukan di tengah-tengah masih kuatnya hubungan emosional dengan UUD 1945. Dengan demikian format metode perubahan tetap addendum, melanjutkan pola sebelumnya. Maknanya amandemen selanjutnya menjadi perubahan kelima, dan seterusnya.

Dengan format metode perubahan, maka amandemen lanjutan harus menggunakan ketentuan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Itu maknanya yang harus melakukan perubahan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keharusan itu menunjukkan kewenangan konstitusional perubahan konstitusi tetap merupakan kewenangan monopoli MPR. Meskipun demikian, bukan berarti naskah perubahan tidak dapat disiapkan oleh pihak-pihak lain di luar MPR. Pengkajian perubahan konstitusi dapat dilakukan pihak lain, misalnya dari peruguruan tinggi. Karenanya, pemikiran presiden untuk membentuk Panitia Nasional – atau dengan nama lain – untuk melakukan pengkajian dan perumusan naskah perubahan UUD 1945 adalah suatu hal yang tidak keliru. Tentu saja, sepanjang naskah perubahan itu kemudian tetap dijadikan bahan usulan perubahan konstitusi di hadapan MPR.

Hal lain yang perlu ditegaskan terkait metode perubahan adalah pentingnya partisipasi publik, karena sangat mempengaruhi tingkat demokratisnya proses reformasi konstitusi. Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh Commonwealth Human Rights Initiatives kepada Commonwealth Heads of Government Meeting tahun 1999, misalnya, menetapkan dua belas prinsip pembuatan konstitusi yang bertalian sangat erat dengan partisipasi publik: (i) legitimasi; (ii) inklusifitas; (iii) pemberdayaan masyarakat sipil; (iv) keterbukaan dan transparansi; (v) aksesabilitas; (vi) pengkajian yang

13. Venter, op. cit., hlm. 19.
14. Wheeler, op. cit., hlm. 50.
15. Ibid.

berkesinambungan; (vii) akuntabilitas; (ix) pentingnya proses; (x) peran partai-partai politik; (xi) peran masyarakat sipil, dan; (xii) peran para pakar.(16)

Wheare berpendapat bahwa urun rembug rakyat dalam mengamendemen konstitusi mereka adalah hal yang krusial.(17) Bagi Rosen, rakyat tidak boleh diatur-atur oleh konstitusi yang tidak mereka pahami.(18) Keterlibatan publik memungkinkan sebuah konstitusi dinyatakan sebagai sebuah ”produk kedaulatan rakyat atas kehendak rakyat [sendiri], ketimbang sebuah pernyataan kepentingan-kepentingan penguasa-penguasa mereka”.(19) Lebih jauh, Ihonvbere menyatakan bahwa partisipasi akan membantu membangun rasa ikut memiliki konstitusi.(20) Konstitusi itu akan menjadi teks milik rakyat yang “akan selalu mereka bela dan pertahankan”.(21) Oleh karena itu, keterlibatan mereka bisa ikut memperkuat solidaritas dan identitas nasional.(22)

Bagi Wheeler, kekuasaan “untuk membuat dan mengubah konstitusi sebuah negara” tidak boleh terlalu bergantung kepada lembaga pembuat konstitusi.(23) Bahkan, katanya, masalah prosedural utama dalam pembuatan konstitusi adalah memastikan kontrol rakyat terhadap kekuasaan konstituante(24). Dalam kalimat-kalimat Ihonvbere:

…sangat mudah membuat konstitusi yang benar-benar jelek. Yang perlu dilakukan oleh negara dan semua pejabatnya hanyalah memperlakukan proses itu sebagai proses pribadi atau proses rahasia, tanpa perlu berembug dengan siapa pun, atau cukup dengan musyawarah minimal saja, dan lebih mengejar pengakuan legal ketimbang membangun legitimasi rakyat seputar konstitusi itu. Kalau proses semacam itu yang diikuti, bisa dijamin bahwa isi dari apa yang disebut konstitusi itu pasti tidak akan demokratis dan tidak akan tanggap terhadap kehendak mayoritas masyarakat...(25)

Menurut Saunders, konsultasi publik harus memenuhi sedikitnya dua aturan dasar: kontribusi yang aktif dan inklusif.(26) Agar menjadi satu kontribusi aktif, konsultasi publik harus dimulai “sebelum aspek-aspek konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif”.(27) Aktivitas-aktivitas konsultasi atau musyawarah harus

16. Commonwealth Human Rights Initiatives, Promoting a Culture of Constitutionalism and Democracy in Commonwealth Africa, background paper to accompany CHRI’s recommendations to Commonwealth Health of Government Meeting 1999 (1999) 13, hlm. 8-18.
17. K.C. Wheare, Modern constitutions (1958) hlm. 22.
18. Richard A. Rosen, ‘Constitutional Process, Constitutionalism, and the Eritrean Experience’ (1999) 24 North Carolina Journal of International Law & Commercial Regulation, hlm. 277.
19. Ibid.
20. Julius Ihonvbere, ‘How to Make an Undemocratic Constitution: The Nigerian Example’ (2000) 21:2 Third World Quarterly, hlm. 346-347.
21. Ibid 347.
22. Rosen, op. cit., hlm. 299.
23. Wheeler, op. cit., hlm. 58.
24. Ibid.
25. Ihonvbere, op. cit., hlm. 348-349.
26 Cheryl Saunders, ‘Women and Constitution Making’ (Paper presented at the International Conference on “Women Peace Building and constitution-making”), Columbo, Sri Lanka 2 – 6 May 2002, hlm. 11.
27. Ibid.

beranjak lebih dari sekadar mendidik publik yang pasif, dan harus melakukan segala usaha untuk bisa secara aktif melibatkan rakyat dalam proses pembuatan konstitusi.(28) Aktivitas-aktivitas itu harus “interaktif dan memberdayakan, mendorong rakyat untuk memberikan kontribusi yang konstruktif bagi proses tersebut.”(29) Jadi, tindak lanjut adalah sesuatu yang krusial untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa urun rembug dari mereka sudah dipertimbangkan dengan serius.(30)

Untuk bisa menumbuhkan partisipasi publik yang inklusif, diperlukan strategi-strategi mengatasi dominasi kelompok-kelompok tertentu dan merangsang partisipasi dari kelompok-kelompok lain yang mungkin masih bungkam.(31) Sayangnya, isu-isu konstitusi yang penting justru jarang diminati masyarakat luas.(32) Oleh karenanya, bagi Wheeler, kelesuan publik terhadap persoalan-persoalan konstitusi harus dilawan.(33) Untuk itu, partisipasi publik harus fokus dan kompetisi-kompetisi elektoral tidak boleh digelar pada saat yang sama dengan berjalannya proses pembuatan konstitusi.(34) Lebih dari itu, Saunders berpendapat bahwa persoalan-persoalan konstitusi harus dihadirkan dalam satu bentuk yang bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat umum.(35) Segala jenis media (televisi, cetak, dan radio) harus dimanfaatkan, karena bermacam-macam kelompok yang ada di masyarakat menggunakan media komunikasi yang berbeda-beda.(36)

PRINSIP-PRINSIP DASAR PERUBAHAN

Prinsip yang menjadi pegangan perubahan disepakati bahwa nama hukum dasar tetap menggunakan UUD 1945, guna menjaga semangat perjuangan dan independensi yang melekat pada tahun kemerdekaan tersebut. Selanjutnya, hal-hal yang menjadi kesepakatan dasar MPR ketika melakukan Perubahan Pertama hingga Keempat, juga terus ditegaskan dalam perubahan lanjutan ini, yaitu tidak berubahnya pembukaan, negara kesatuan dan penguatan sistem pemerintahan presidensial. Kesepakatan tersebut perlu ditegaskan untuk menyatakan perubahan ke depan tidak akan membongkar pondasi dasar kehidupan bernegara khususnya yang berhubungan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Kesepakatan-kesepakatan demikian disadari sebagai konsensus politik nasional yang menjadi prasyarat kemungkinan berlanjutnya perubahan UUD.

Selanjutnya, secara substansi, perubahan lanjutan akan menyempurnakan saling kontrol saling imbang pada cabang-cabang kekuasaan. Di bidang eksekutif, pemilihan presiden langsung sebaiknya membuka peluang adanya calon independen, merubah dominasi partai politik yang saat ini memonopoli pencalonan presiden. Sedangkan untuk menguatkan sistem presidensial yang efektif perlu desain konstitusi yang merangsang hadirnya sistem kepartaian sederhana. Dalam konteks demikian perlu

28. Rosen, op. cit., hlm. 294.
29. Saunders, loc. cit.
30. Ibid.
31. Ibid.
32. Wheeler, loc. cit.
33. Ibid.
34. Ibid.
35. Saunders, loc. cit., hlm. 1.
36. Ibid.

dicatat peringatan dari Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart dalam “Presidentialism and Democracy in Latin America”. Menurut mereka, ketidakstabilan pemerintahan akan terjadi bila sistem presidensial dipadukan dengan sistem multi-partai yang cenderung melahirkan presiden sial (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government). Yaitu, presiden yang hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen. Hadirnya presiden minoritas dan pemerintahan terbelah, ditambah minimnya kekuasaan konstitusional, menyebabkan banyak sistem presidensial di negara-negara Amerika Latin gagal menghadirkan demokrasi yang stabil.(37) Dalam upaya mendorong hadirnya kepartaian yang sederhana tersebut maka perlu didesain pencalonan presiden yang terjadi sebelum pemilu legislatif. Dengan demikian, partai-partai didorong untuk berkoalisi dengan dasar platform kepartaian, tidak semata-mata persamaan kepentingan kekuasaan.

Di bidang legislatif, MPR ditegaskan sebagai joint session, forum gabungan saat DPR dan DPD melakukan sidang bersama. Selanjutnya, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkan agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, jika ke depan ada amandemen konstitusi, maka DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknya RUU perubahan tersebut. Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan struktural, terutama berhubungan dengan personal DPD. Proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD yang saat ini ada dari tingkat UU ke tingkat konstitusi. Sehingga, sistem parlemen Indonesia ke depan sebaiknya mengarah kepada sistem parlemen bikameral yang efektif, meski tidak mengarah kepada bikameral yang sama kuat (perfect bicameralism). Karena, perfect bicameralism berpotensi mengarah kepada kebuntuan proses politik.(38)

Di bidang yudikatif, sebaiknya ditegaskan konsep MK sebagai court of law dan MA sebagai court of justice. MK sebaiknya diberikan kewenangan untuk menguji semua peraturan perundangan. Sedangkan MA diberikan kewenangan forum previlegiatum untuk memutus kasus kejahatan pada tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat negara. Kewenangan MK juga perlu ditambah untuk memeriksa permohonan constitutional complaint. Kewenangan demikian penting untuk menjamin aturan HAM di dalam konstitusi tidak hanya menjadi aturan kosong, tanpa perlindungan konkrit kepada semua warga negara. Masih di bidang HAM, secara legal drafting masih ada aturan yang tumpang tindih dan repetisi. Lebih substantif, masih diperlukan perubahan lanjutan untuk menegaskan terwujudnya perlindungan HAM, misalnya terkait jaminan kebebasan pers, hak pekerja dan hak perempuan.

Yang juga perlu dilakukan, pemisahan kekuasaan di dalam konstitusi harus menampung lahirnya independent agencies yang memperkuat bangunan negara hukum. Artinya, Komisi Hak Asasi Manusia, KPK, Komisi Kebebasan Pers, KPU harus diangkat menjadi organ konstitusi, untuk melakukan fungsi kontrol penegakan HAM, pemberantasan korupsi, menjamin kebebasan pers dan pemilu yang luber dan jurdil.(39) Penambahan empat lembaga independen itu melengkapi keberadaan Komisi Yudisial sebagai

37. Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America (1990).
38. Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (2nd Ed, 1997) hlm. 188.
39. Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Makalah yang disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan harian Kompas, Sewindu Reformasi Mencari Visi 2030, Jakarta 8 Mei 2006.

penjamin prinsip lembaga peradilan yang independen, dan akuntabel. Peletakkan independent agencies ke dalam konstitusi tersebut, di samping memperkokoh bangunan negara demokrasi konstitusional Indonesia juga untuk menjawab makin kompleksnya permasalahan ketatanegaraan modern. Dalam konteks tersebut, konsep klasik pemisahan kekuasaan ala Montesquieu (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah relatif ketinggalan zaman. Bruce Ackerman dengan lugas mengatakan pemisahan ketatatanegaraan Amerika Serikat berdiri di atas lima cabang kekuasaan, tidak lagi tiga, yaitu: Presiden, Senate, House of Representatives, Mahkamah Agung dan independent agencies.(40)

Akhirnya, reformasi hubungan pusat dan daerah juga harus diagendakan dalam perubahan konstitusi. Kuatnya tuntutan otonomi daerah harus diberikan jaminan konstitusi yang tegas untuk sejalan dengan bentuk negara kesatuan. Desain konstitusi harus menemukan formula yang tepat untuk terus mendorong desentralisasi yang tidak menumbuhkan potensi disintegrasi. Masih dalam konteks otonomi daerah, konstitusi juga mesti mempunyai norma yang berpihak kepada keberagaman dan kekhususan daerah, ataupun masyarakat adat setempat.

Penjabaran lebih lanjut dari substansi perubahan di atas, diuraikan dalam catatan kaki pada masing-masing ketentuan di bawah ini.

KETERANGAN

  • Cetak tebal pada materi pasal menandakan perubahan dari naskah UUD 1945 yang asli.
  • Cetak tebal dan miring berwarna oranye pada materi pasal menandakan perubahan yang diusulkan oleh ahli bahasa.

40. Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review vol. 113 (2000) 728

.

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

PEMBUKAAN
(Preambule)

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwa­kilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

UNDANG-UNDANG DASARBAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
  1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
  2. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
  3. Negara Indonesia adalah negara hukum.
BAB II
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
Pasal 2
  1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
  2. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 3
  1. Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.(41)
  2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Pasal 4
  1. Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
  2. Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Pasal 5
  1. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.(42)
  2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum dan/atau berasal dari calon perseorangan.
  3. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat.(43)
  4. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
  5. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
  6. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Pasal 6

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Pasal 7

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya melalui forum majelis permusyawaratan rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti telah melakukan

41. Presiden-eksekutif berkedudukan terpisah dari lembaga legislatif dan tidak memutuskan undang-undang. Tetapi Presiden berhak dan dapat memajukan rancangan undang-undang kepada lembaga legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (lihat Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah).
42. Ayat ini untuk mengakomodasi keberadaan calon perseorangan.
43. Ayat ini mengatur pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pemilihan umum legislatif, agar tercipta koalisi yang pencalonan yang lebih definitif tanpa digantungkan kepada hasil pemilu legislatif. Dengan aturan demikian maka pasangan Presiden dan Wakil Presiden dapat lebih leluasa dalam membentuk kabinetnya tanpa terkendala oleh koalisi pascapemilu legislatif.

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela ataupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 8(44)
  1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada forum majelis permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan/atau tindak pidana berat lainnya; bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan tercela; dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  2. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  4. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
  5. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk melakukan sidang bersama dalam forum majelis permusyawaratan rakyat untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
  6. Keputusan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam forum majelis permusyawaratan rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 3/4 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang hadir dalam forum majelis permusyawaratan rakyat, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam forum majelis permusyawaratan rakyat.

44. Pasal ini memangkas kemungkinan politis dengan mendorong mekanisme pemakzulan (impeachment) yang lebih ringkas tanpa perlu kembali lagi ke DPR, serta mekanisme jumlah kehadiran yang ditetapkan di tiap kamar, meskipun pada akhirnya putusannya diambil secara keseluruhan. Implikasinya, MK lebih mengalami politisasi sejak perekrutan.

Pasal 9(45)
  1. Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
  2. Jika terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengadakan sidang bersama dalam forum majelis permusyawaratan rakyat untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
  3. Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
  4. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengadakan sidang bersama dalam forum majelis permusyawaratan rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
  5. Jika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya hanya berlangsung satu putaran dan diikuti oleh dua pasangan calon, forum majelis permusyawaratan rakyat menetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak kedua.
  6. Jika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya hanya berlangsung satu putaran dan diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon, forum majelis permusyawaratan rakyat memilih di antara dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meraih suara terbanyak kedua dan ketiga.
  7. Jika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya berlangsung dua putaran, forum majelis permusyawaratan rakyat memilih di antara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meraih suara terbanyak kedua pada putaran kedua, serta pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meraih suara terbanyak ketiga pada putaran pertama.
Pasal 10(46)

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang

45. Penambahan beberapa hal dalam pasal ini dilakukan sebagai implikasi untuk mengakomodasi keberadaan calon perseorangan yang telah disebutkan dalam pasal sebelumnya, khususnya ketika presiden dan wakil presiden yang terpilih mangkat, berhenti, diberhentikan, atau berhalangan tetap. Prinsip yang ditonjolkan di sini adalah pemberian tongkat estafet pemerintahan kepada urutan kedua dan ketiga dari pemilu presiden.
46. Pada prinsipnya, sumpah ini merupakan janji konstitusional yang diucapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian perlu penegasan kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi yang dilambangkan dengan bersumpah di hadapan Mahkamah Konstitusi dalam forum majelis permusyawaratan rakyat. Implementasinya dapat diatur dalam undang-undang, mungkin UU Lembaga Kepresidenan atau UU Protokoler.

Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Pasal 11

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Pasal 12(47)
  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Pasal 13

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 14(48)
  1. Presiden mengangkat duta dan konsul.
  2. Presiden menerima duta negara lain.
Pasal 15

Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.(49)

Pasal 16

Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.

47. Pada pasal ini dimasukkan keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah.
48. Dikembalikan kepada ketentuan praamandemen. Kewenangan mengangkat duta dan konsul merupakan wewenang Presiden sebagai Kepala Negara.
49. Dikembalikan kepada ketentuan praamandemen. Sesuai dengan kedudukan Presiden sebagai kepala negara, seharusnya konstitusi cukup mengatur wewenang-wewenang ini sebagai wewenang Presiden yang diatur dengan undang-undang. Dalam kenyataan, pertimbangan dari Mahkamah Agung memang diatur dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang Mahkamah Agung.

BAB III
KEMENTERIAN NEGARA
Pasal 17
  1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
  2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
  3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
  4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
BAB IV
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 18(50)

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan legislatif.

Pasal 19(51)

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengadakan sidang bersama dalam forum majelis permusyawaratan rakyat untuk mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar; untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya; atau terbukti melakukan perbuatan tercela; ataupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan; dan untuk memilih Wakil Presiden ketika Wakil Presiden menggantikan Presiden dalam hal terjadi kekosongan Presiden.

Pasal 20(52)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih melalui pemilihan umum.

50. Pengaturan ini diperlukan untuk menegaskan bahwa DPR dan DPD adalah lembaga legislatif sehingga keduanya DPR dan DPD sama-sama memegang kekuasaan legislatif. Yang dimaksudkan dengan kekuasaan legislatif adalah kekuasaan dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, fungsi keuangan, fungsi representasi, dan fungsi pengisian jabatan publik. Pengaturan ini juga menegaskan bahwa sistem lembaga perwakilan rakyat Indonesia menganut pola dua kamar yang efektif (effective bicameralism). Dengan adanya kamar kedua, monopoli proses legislasi dalam satu kamar dapat dihindari. Karenanya, ditegaskan sistem dua kamar memungkinkan untuk mencegah pengesahan undang-undang yang cacat atau ceroboh.
51. Forum majelis permusyawaratan rakyat adalah merupakan joint session antara DPR dan DPD untuk melakukan tugas-tugas insidentil yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan. Dengan pasal ini, majelis permusyawaratan rakyat tidak lagi merupakan lembaga negara yang permanen karena majelis permusyawaratan rakyat adalah forum gabungan antara DPR dan DPD dan bukan merupakan gabungan antara anggota DPR dan anggota DPD. Karena forum gabungan dan bukan merupakan lembaga permanen, Ketua DPR dan Ketua DPD secara ex-officio menjadi pimpinan sidang forum majelis permusyawaratan rakyat.
52. Penegasan bahwa anggota DPR dan anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum adalah menghindari agar salah satu kamar tidak diisi dengan cara penunjukan atau gabungan antara pemilihan umum dan penunjukan.

Pasal 21(53)
  1. Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
  2. Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di provinsi daerah pemilihannya.
  3. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  4. Syarat-syarat lain untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 22

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya menurut syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam undang-undang.(54)

Pasal 23(55)
  1. Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, fungsi pengisian jabatan publik,(56) dan fungsi keterwakilan.(57)
  2. Dalam melaksanakan fungsinya,(58) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang, hak interpelasi,(59) hak angket,(60) dan hak menyatakan pendapat.(61)
  3. Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, serta hak protokoler dan keuangan.(62)
  4. Ketentuan lebih lanjut tentang fungsi, hak kelembagaan, serta hak keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam undang-undang.(63)

53. Pencantuman bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia untuk calon anggota DPR dan bertempat tinggal di wilayah pemilihannya bagi anggota DPD adalah untuk membedakan keterwakilan bagi DPR dan DPD. Khusus untuk DPD, frase “bertempat tinggal di wilayah pemilihannya” adalah untuk menegaskan bahwa DPD merupakan perwakilan ruang, dengan basis pemilihan provinsi.
54. Pemberhentian anggota DPR dan anggota DPD perlu diatur di tingkat undang-undang untuk memperjelas syarat dan tata cara pemberhentian. Khusus untuk anggota DPR, kecenderungan selama ini, pemberhentian didasarkan pada subyektifitas partai politik. Dengan aturan ini, undang-undang partai politik dan undang-undang susunan DPR dan DPD harus menjelaskan syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPR. Sementara pemberhentian DPD, harus ada elaborasi dalam undang-undang terutama kaitan konstituen di wilayah pemilihan dengan usul pemberhentian anggota DPD.
55. Pasal ini mengatur fungsi-fungsi dan hak-hak yang dimiliki DPR dan DPD sebagai lembaga legislatif.
56. Fungsi pengisian jabatan publik adalah pengisian jabatan-jabatan yang memerlukan persetujuan DPR dan/atau DPD. Jabatan publik ini merupakan jabatan-jabatan yang disebutkan dalam UUD dan UU. Misalnya, pengisian hakim konstitusi, hakim agung, anggota BPK, anggota Komisi Yudisial, gubernur BI, anggota KPU, anggota KPK dll.
57. Fungsi keterwakilan merupakan konsekuensi dari keanggotaan DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena pemilihan itu, anggota DPR dan anggota DPD merepresentasikan konstituen mereka.
58. Hak mengajukan rancangan undang-undang, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat juga dimiliki DPD karena fungsi-fungsi yang dimiliki DPR juga dimiliki oleh DPD.
59 Hak interpelasi adalah hak DPR dan DPD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak mengajukan rancangan undang-undang, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat juga dimiliki DPD karena fungsi-fungsi yang dimiliki DPR juga dimiliki oleh DPD.
60. Hak angket adalah hak DPR dan DPD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
61. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
62. Pemberian hak yang sama bagi anggota DPR dan anggota DPD adalah konsekuensi dari tidak adanya perbedaan antara anggota DPR dan anggota DPD sebagai anggota lembaga legislatif. Khusus untuk penambahan hak protokoler dan keuangan ditujukan agar anggota DPR dan anggota DPD tidak semena-mena menggunakan kekuasaan politik yang mereka miliki untuk mendapatkan pelayanan dan menambah penghasilan.
63. Undang-Undang tentang Hak Protokoler dan Keuangan diperlukan agar pelayanan dan keuangan anggota DPR dan anggota DPD mempunyai dasar pengaturan yang jelas

Pasal 24

Undang undang tentang hak protokoler dan keuangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang berakibat pada kenaikan pendapatan diberlakukan untuk masa jabatan setelah pemilihan umum berikutnya.(64)

Pasal 25

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan rancangan undang-undang.(65)

Pasal 26(66)
  1. Setiap rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada Dewan Perwakilan Daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui, mengusulkan perubahan, atau menolak rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Apabila Dewan Perwakilan Daerah menyetujui rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-undang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.
  4. Apabila Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan perubahan terhadap rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk panitia bersama untuk membahas rancangan undang-undang yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.
  5. Apabila rancangan undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Daerah, rancangan undang-undang tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.
Pasal 27(67)
  1. Setiap rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menyetujui, mengusulkan perubahan, atau menolak rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah.
  3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah, rancangan undang-undang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.
  4. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan perubahan atas rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah membentuk panitia bersama untuk membahas rancangan undang-undang yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah.
  5. Apabila rancangan undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-undang tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.

64. Penegasan ini diperlukan agar upaya untuk mendapatkan tambahan fasilistas dan keuangan tidak terjebak ke dalam konflik kepentingan (conflict of interest) anggota DPR dan anggota DPD.
65. Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anggota DPR dan anggota DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang. Dengan demikian, hak untuk mengajukan rancangan undang-undang tidak hanya menjadi hak lembaga tetapi juga hak anggota DPR dan anggota DPD.
66. Pasal ini terkait dengan pasal berikutnya, yaitu menjelaskan pola baru pembahasan rancangan undang-undang di dalam lembaga legislatif dalam konteks effective bicameralism (lihat catatan kaki nomor 50). Dalam bikameral yang efektif ini, semua undang-undang (tanpa ada pengkhususan bidang untuk DPD) dibahas oleh DPR dan DPD terpisah dan bertahap dan RUU dapat diajukan baik oleh DPR maupun oleh DPD. Untuk membuat penerapan sistem presidensil yang konsisten, pembahasan undang-undang pun tidak lagi dilakukan “secara bersama-sama” oleh legislatif dan eksekutif seperti yang dikenal sekarang. Nantinya, DPR dan DPD membahas sendiri-sendiri, dengan kemungkinan perundingan melalui panitia bersama, dan kemudian presiden diberikan hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh presiden (penandatanganan, lihat Pasal 28). Dengan begitu checks and balances antara eksekutif dan legislatif, maupun di antara kedua kamar di dalam lembaga legislatif dapat terjadi.
Pasal 26 ini merincikan prosedur pembahasan dalam hal RUU diajukan oleh DPR, sementara Pasal 27 menjelaskan prosedur pembahasan RUU yang diajukan oleh DPD. Apabila RUU berasal dari DPR, maka RUU dikirim ke DPD untuk dibahas. DPD dapat menerima, menolak, atau memberi tambahan. Bila DPD menerima, maka RUU tersebut langsung diberikan kepada presiden untuk disahkan. Namun bila ada penambahan dari DPD, maka DPR dan DPD akan membentuk panitia bersama untuk mencapai kesepakatan. Jika ditolak, RUU tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.
Yang disebut dengan “panitia bersama” di sini adalah suatu kelompok kecil yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPR yang membahas RUU yang mendapatkan penambahan materi (tdak disetujui secara bulat oleh DPD). Panitia ini berbeda dengan forum majelis permusyawaratan rakyat yang merupakan forum gabungan (joint session DPR dan DPD, lihat Pasal 19 dan catatan kaki nomor 51) dalam hal-hal tertentu yang diatur di dalam konstitusi. Panitia bersama khusus didirikan untuk merumuskan kesepakatan bersama DPR dan DPD untuk RUU yang dibahas dan setelah itu dibubarkan. Karena itu, dari segi jumlah pun, panitia bersama jumlahnya jauh lebih kecil dari forum majelis permusyawaratan rakyat.
67. Bila Pasal 26 menjelaskan prosedur pembahasan dalam hal RUU diajukan oleh DPR, Pasal 27 ini menjelaskan prosedur pembahasan dalam hal RUU diajukan oleh DPD. Jika RUU berasal dari DPD, maka RUU dikirim ke DPR untuk dibahas. DPR dapat menerima, menolak, atau memberi tambahan. Bila DPR menerima, maka RUU tersebut langsung diberikan kepada presiden untuk disahkan. Namun bila ada penambahan dari DPR, maka DPR dan DPD akan membentuk panitia bersama untuk mencapai kesepakatan. Jika ditolak, RUU tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.

Pasal 28(68)
  1. Dalam jangka waktu paling lama tiga hari, rancangan undang-undang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.(69)
  2. Presiden dapat menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalam jangka waktu paling lama sepuluh hari kerja sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui.(70)
  3. Jika Presiden menolak untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, maka rancangan undang-undang dimaksud sah menjadi undang-undang apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dua pertiga dari anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak penolakan tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah dan wajib diundangkan.(71)

68. Pasal ini menjelaskan proses pengesahan oleh presiden atas RUU yang sudah disetujui oleh DPR dan DPD dalam konteks sistem presidensil yang konsisten. Dalam usulan amandemen ini yang mengandung jiwa penguatan sistem presidensil dan bimakeral yang efektif, proses legislasi berubah secara signifikan, dengan semua RUU dibahas oleh legislatif tanpa mengikutsertakan eksekutif, namun kemudian eksekutif diberikan hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh eksekutif.
Dalam pasal ini diperkenalkan proses yang lebih rinci yang dapat terjadi sebelum suatu undang-undang disahkan (ditandatangani) presiden untuk membuat, yaitu adanya proses pernyataan penolakan atau veto presiden, penolakan atas veto presiden oleh DPR dan DPD (overriding), dan “veto diam-diam” presiden (pocket veto). Pasal ini harus dibaca dalam satu rangkaian dengan Pasal 26 dan 27 sehingga akan menggambarkan proses checks and balances yang lebih baik antara eksekutif dan legislatif dalam hal pembuatan undang undang, di mana eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR dan DPD) dapat saling mengontrol.
Selama ini, mekanisme checks and balances dalam proses legislasi ini tidak terjadi karena adanya konsep “pembahasan bersama” antara eksekutif dan legislatif – yang tidak lazim diterapkan dalam sistem presidensial—sehingga menghilangkan pula adanya mekanisme “veto-penolakan veto-pocket veto” ini. Yang ada hanyalah pocket veto, dengan menyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah disetujui presiden tidak menandatangani RUU maka RUU tetap menjadi undang-undang. Namun proses sebelumnya tidak diperjelas dan proses pembahasan pun dilakukan bersama antara eksekutif dan legislatif, akibatnya muncul kebingungan secara konseptual mengenai sistem apa yang diterapkan di Indonesia dan secara praktek pun problematik dengan adanya undang-undang (mis. UU Pelabuhan Bebas Batam) yang sudah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah namun ternyata pemerintah menolak menandatanganinya.
69. Ayat ini menjelaskan proses berikutnya setelah suatu RUU disetujui oleh DPR dan DPD, yaitu mengirimkannya kepada presiden. Diberikannya batasan waktu di dalam ayat ini adalah untuk memastikan pembahasan RUU tidak berlarut-larut dan agar ada kejelasan mengenai kondisi pelanggaran suatu prosedur.
70. Ayat ini memberikan hak kepada presiden untuk menyatakan penolakan atas suatu RUU yang sudah disetujui oleh DPR dan DPD. Adanya batasan 10 hari kerja di dalam ayat ini adalah untuk memastikan pembahasan RUU tidak berlarut-larut dan agar ada kejelasan mengenai kondisi pelanggaran suatu prosedur. Ayat ini mengatur batas waktu dalam satuan “hari kerja” sementara ayat sebelumnya dalam satuan “hari” karena ayat sebelumnya dianggap sebagai suatu prosedur teknis sementara ayat ini menggambarkan prosedur politis yang membutuhkan perhitungan waktu efektif bagi presiden untuk mengambil keputusan.
71. Pasal ini adalah mengenai “penolakan veto presiden oleh legislatif” dan “veto secara diam-diam” presiden (pocket veto) atas penolakan veto tersebut. Veto presiden atas suatu RUU yang sudah disetujui DPR dan DPD dapat “dilawan” atau ditolak kembali oleh DPR dan DPD melalui suatu pernyataan yang disetujui oleh minimal dua pertiga anggota DPR dan dua pertiga anggota DPD (bukan gabungan dalam forum majelis permusyawaratan rakyat, melainkan keputusan DPR dan DPD secara terpisah). Namun “penolakan” legislatif atas veto eksekutif tersebut masih bisa di-veto lagi "secara diam-diam' melalui tidak ditandatanganinya undang-­undang tersebut. Meski demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah. Proses ini diberikan batasan jangka waktu 30 hari untuk memastikan berlangsungnya proses politik ini.

Pasal 29
  1. Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.(72)
  2. Dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak ditetapkan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang.(73)
  3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyetujui, maka peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.(74)
  4. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah menolak, maka peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus dicabut.(75)
Pasal 30(76)
  1. Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah untuk dibahas pada waktu yang bersamaan.(77)
  2. Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui, mengusulkan perubahan, atau menolak rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
  3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyetujui rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, rancangan undang-undang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.(78)
  4. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan perubahan terhadap rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah membentuk panitia bersama dengan mengikutsertakan Presiden untuk membahas rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.(79)
  5. Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyetujui Rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara selambat-lambatnya enam puluh hari sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.(80)
  6. Dalam jangka waktu paling lama tiga hari, rancangan undang-undang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.(81)
  7. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara, Presiden menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu.(82)

72. Ketentuan ini tetap mempertahankan hak darurat presiden untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang substansinya sama dengan undang-undang sebagai-mana dalam UUD hasil amandemen atau sebelum amandemen. Perubahan yang dilakukan adalah menghilangkan kata “ihwal” karena dalam penggunaan bahasa Indonesia, kata “hal” dan “ihwal” mempunyai pengertian yang sama. Untuk menghilangkan kata ganda tersebut, kata “ihwal” dihapuskan.
73. Batasan waktu 30 hari dicantumkan untuk mencegah agar hak darurat presiden dalam membentuk peraturan dimaksud tidak berlarut-larut dan dalam batas waktu tersebut hak darurat itu dapat dinilai DPR dan DPD. Di samping itu, untuk memberikan kepastian agar DPR dan DPD tidak mebiarkan Perpu berlarut-larut.
74. Sebagaimana pembentukan undang-undang, untuk menjadi undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dan DPD.
75. Tanpa persetujuan DPR dan DPD, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tidak dapat menjadi undang-undang. Dengan penolakan itu, Perpu tersebut harus dicabut.
76. Pengaturan mengenai pembentukan RAPBN dipisahkan dari pengaturan mengenai pembentukan undang-undang lain, karena proses pembentukan RAPBN mempunyai karakter yang berbeda dengan undang-undang. Perbedaan itu karena proses pembahasan RAPBN tidak merupakan proses legislasi murni tetapi merupakan kuasi legislasi. Proses pembahasan RAPBN merupakan fungsi begrooting DPR dan DPD. Di samping itu, RAPBN ditarik keluar dari Bab keuangan negara karena RAPBN merupakan quasi legislasi karena APBN dituangkan dalam baju hukum bernetuk undang-undang.
77. Berbeda dengan pengajuan rancangan undang-undang yang dapat diajukan presiden kepada DPR atau DPD, RAPBN diajukan kepada DPR dan DPD sekaligus. Oleh karena itu, hanya presiden yang berhak mengajukan RAPBN.
78. Sama dengan rancangan undang-undang, RAPBN harus mendapat persetujuan DPR dan DPD.
79. Panitia bersama dengan menyertakan presiden dibentuk untuk mempercepat pemba-hasan usul perubahan yang diajukan oleh DPR dan/atau DPD. Sementara itu, batasan 60 hari sebelum berakhirnya tahun anggaran tidak hanya bertujuan untuk mempercepat penyelesaian RAPBN tetapi juga untuk memberikan ruang kepada daerah menyusun RAPBD lebih awal.
80. Batasan 60 hari sebelum berakhirnya tahun anggaran tidak hanya bertujuan untuk mempercepat penyelesaian RAPBN tetapi juga untuk memberikan ruang kepada daerah menyusun RAPBD lebih awal.
81. Batasan waktu tiga hari dimaksudkan untuk mempercepat proses di DPR dan DPD setelah RAPBN disetujui.
82. Tujuan aturan ini adalah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penolakan atas RAPBN yang diajukan oleh presiden.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.(83)

Pasal 32
  1. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.(84)
  2. Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengawasan diatur dalam undang-undang.
BAB V
HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH(85)
Pasal 33
  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, yang diatur dalam undang-undang.(86)
  2. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas desentralisasi dan otonomi, kecuali yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.(87)
Pasal 34
  1. Hubungan antara pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten dan kota, atau antara daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota diatur dalam undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.(88)
  2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.(89)

83. Pasal ini memerintahkan adanya Undang-Undang tentang Pembentukan Undang-Undang, bukan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seperti UU No 10/2004.
84. Lihat catatan kaki no. 59, 60, dan 61.
85. Judul bab ini menegaskan bahwa yang diatur adalah hubungan antara negara/pusat dan daerah, dan bukan hanya sekedar hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
86. Frase yang mengemuka selama ini adalah “dibagi atas” dan “terdiri atas”. Frase “terdiri atas” menekankan prinsip daerah yang majemuk kemudian menjadi satu kesatuan negara. Prinsip frase “terdiri atas” ini lebih dekat pada prinsip negara federal yang terdiri dari banyak daerah lalu menyatukan diri menjadi satu negara. Pilihan frase “dibagi atas” (sama dengan frase yang dipilih pada perubahan kedua) berpola sebagai sebuah negara kesatuan yang kemudian daerahnya terbagi atas daerah-daerah dalam lingkup tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan prinsip negara kesatuan yang tetap dipertahankan.
87. Selama ini, ada beberapa asas yang dicantumkan, yakni asas otonomi dan tugas pembantuan. Inti dari adanya pelaksanaan otonomi dan pembantuan adalah desentralisasi yang menjadi antitesa politis dari sentralisasi. Dalam pembagian model desentralisasi terdapat beberapa tawaran kemungkinan, yakni; Pertama, adalah dekonsentrasi, yakni distribusi wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan. Kedua, delegasi, yakni apa yang diartikan sebagai pendelegasian otoritas menejemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang diberikan kepada organiasasi-organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah. Ketiga, adalah devolusi, yakni menyerahkan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Keempat, Privatisasi, yakni menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi tertentu kepada organisasi swasta. (Rondinelli dan Cheema, 1983).
Artinya, dari keempat model tersebut telah memayungi pengertian pelaksanaan desentralisasi dalam bentuk otonomi dan tugas pembantuan tersebut. Hanya saja, perlu untuk dipertahankan adanya kalimat “otonomi” yang merupakan gairah utama dari penguatan daerah yang ada selama ini. Sedangkan kata desentralisasi merupakan payung dari berbagai varian yang mungkin dari upaya mengurangi model sentralisasi.
Pola hubungan pemerintah pusat juga dinyatakan melalui pasal ini. Hal yang berarti, pola hubungan hirarkis yang ada hanyalah pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karena kewenangan yang didesentralisasi adalah mengurus sendiri urusan pemerintah yang lebih banyak bernuansa desentralisasi administratif dengan model residual. Hal yang berarti urusan pemerintah daerah adalah semua urusan yang menjadi sisa dari urusan pemerintah pusat yang dinyatakan dalam UU.
88. Ayat 1 ini menyatakan dengan tegas pola hubungan yang dapat diatur adalah pola hubungan antara pusat dan daerah, bukan hanya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ayat ini untuk menegaskan bahwa pada prinsipnya bukanlah pemerintah pusat yang membagi kewenangan negara/pusat ke daerah, tetapi antara negara (national) dengan daerah (subnational) melalui legislatif pusat, yakni DPR dan DPD. Kendatipun demikian, dalam membuat UU yang mengatur pola hubungan tersebut, DPR dan DPD harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
89. Hal yang sama dilakukan pada ayat ini yakni menghilangkan kalimat pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan menggantinya menjadi pusat (national) dan daerah (subnational).

Pasal 35
  1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.(90)
  2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.(91)
BAB VI
PEMERINTAH DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH(92)
Pasal 36
  1. Pemerintah daerah dikepalai oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota.(93)
  2. Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah secara langsung.(94)
  3. Pemerintah daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.(95)
  4. Tata cara penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah diatur dalam undang- undang.

90. Tidak ada perubahan dari ayat ini, sama persis dengan ayat 18B ayat (1). Karena ayat ini untuk memayungi daerah otonom yang lahir karena kekhususan dan keragaman daerah sehingga melahirkan hal yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
91. Menghilangkan kalimat “sepanjang masih diakui” dan “perkembangan masyarakat” yang menghalangi pengakuan penuh karena adanya persyaratan. Karenanya, hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengakuan bersyarat yang terlalu ketat dalam pengakuan masyarakat adat, namun menguncinya dengan kesesuaian terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi elan utamanya.
92. Judul bab ini untuk menegaskan bahwa Pemerintah Daerah sebagai eksekutif lokal, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah legislatif lokal.
93. Gubernur, Bupati dan Walikota diposisikan sebagai kepala pemerintah daerah (eksekutif lokal). Hal ini mengubah prinsip dan praktik lama bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi kepala pemerintahan daerah yang memasukkan unsur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalamnya. Sehingga, ada penegasan pemisahan yang tegas antara pemerintah daerah (eksekutif lokal) dengan DPRD (legislatif lokal).
94. Hal ini untuk menghilangkan ‘kontradiksi’ dari model kalimat pemilihan demokratis yang ada selama ini, dengan menguatkan prinsip Pilkada (pemilihan umum kepala daerah) secara langsung dan diharapkan menjadi basis legitimasi pemerintah daerah dari daerah yang dipimpinnya. Pilkada yang secara tegas telah dimasukkan dalam rezim pemilihan umum menjadi ajang satu-satunya pemilihan kepala daerah dalam bentuk provinsi, kabupaten atau kota. Dengan prinsip Pilkada hanya memilih kepala daerah, berarti terbuka kemungkinan pemilihan kepala daerah tidak secara langsung.
95. Yang dinyatakan pada Pasal 33 ayat (2) di atas merupakan asas-asas yang akan memayungi kewenangan mengurus urusan pemerintahan. Sedangkan di ayat ini dinyatakan pelaksanaan dari kewenangan pengurusan tersebut yang dibentuk menjadi otonomi dan tugas pembantuan. Artinya, ayat ini berimplikasi pada hak inisiatif dalam proses legislasi di daerah (akan dibicarakan kemudian).

Pasal 37
  1. Gubernur, Bupati, dan Walikota mengajukan rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  2. Rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah dikonsultasikan kepada Pemerintah Pusat untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan kepada gubernur untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten atau kota.(96)
  3. Tata cara penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 38
  1. Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berwenang menetapkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan dengan merujuk kepada undang-undang dan/atau peraturan pemerintah.(97)
  4. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah.(98)
  5. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta hak protokoler dan hak keuangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dalam undang-undang.
BAB VII
PEMILIHAN UMUM
Pasal 39
  1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.(99)
  2. Pemilihan umum diselenggarakan sekali dalam lima tahun oleh Komisi Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota.(100)
  3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
  4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
  5. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

96. Dalam menegaskan adanya pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, maka terkhusus masalah anggaran ini, pemerintah daerah harus melakukan konsultasi dengan pemerintah di atasnya secara hirarkhis (executive preview). Untuk Raperda APBD Proppinsi akan dikonsultasikan ke Pemerintah Pusat dan untuk Raperda APBD Kabupaten atau Kota akan dikonsultasikan ke Gubernur.
97. Kewajiban merujuk ke UU dan/atau PP ini untuk menghilangkan kemungkinan adanya pengaturan-pengaturan bersifat hirarkial dari pemerintah pusat yang akan mengatur dan tidak berada dalam rezim pengaturan. Praktik yang ada selama ini dengan memberikan pengaturan dengan berbagai peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur (khusus perda kabupaten atau kota) dan peraturan pelaksana lainnya telah menyebabkan adanya dualisme pengaturan. Hal terpokok yang diinginkan adalah dalam setiap peraturan daerah harus merujuk ke UU dan/atau PP di atasnya sehingga dalam pengujiannya benar-benar melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan secara hirarkis berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan.
98. Kata dapat akan dibicarakan dan dibandingkan dengan istilah berhak.
99. Dalam usulan ini, frasa “setiap lima tahun sekali” dihapuskan, karena sebagaimana tercantum dalam usulan rumusan ayat (2)-nya, pengertian pemilihan umum juga akan diperluas menjadi mencakup pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Dengan demikian penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah secara langsung, akan dilakukan sesuai dengan waktu dimulai atau diakhirinya masa jabatan seorang kepala daerah. Dengan demikian anĂ­llala pemilu dalam tingkat nasional (national election) yang akan berlangsung secara rutin 5 tahun sekali. Pemilihan kepala daerah secara langsung juga akan berlangsung 5 tahun sekali, namun jadwalnya jelas tidak akan bersamaan waktunya, karena tergantung pada masa jabatan masing-masing kepala daerah.
100. Perubahan ayat ini dimaksudkan untuk mengelaborasi pendapat yang kuat beredar di kalangan masyarakat, dan telah diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, agar di masa depan pemilihan kepala daerah secara langsung juga dikategorikan sebagai pemilihan umum. Dengan rumusan ini maka pengertian pemilihan umum juga mencakup pemilihan kepala daerah secara langsung.

BAB VIII
HAL KEUANGAN
Pasal 40(101)

Anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(102)

Pasal 41

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Pasal 42

Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 43

Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.

Pasal 44

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.

BAB IX
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Pasal 45
  1. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
  2. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
  3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.


Pasal 46
  1. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.(103)
  2. Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 47
  1. Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.
BAB X
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 48

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 49
  1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya(104) serta oleh Mahkamah Konstitusi.
  2. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

101. Ayat-ayat yang mengenai prosedur pembahasan APBN dipindahkan ke bab mengenai kekuasaan legislatif karena pembahasan APBN merupakan bagian dari fungsi legislatif. Dengan demikian bab mengenai keuangan secara konsisten hanya mengatur prinsip-prinsip dasar dalam keuangan negara. Sementara prosedur yang terkait dengan tugas DPR dan DPD dimasukkan ke dalam bab yang memang mengatur rincian tugas konstitusional DPR dan DPD.
102. Hanya dihilangkan frase “sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara” dari ketentuan awalnya di UUD 1945 di dalam Pasal 23. Penghilangan ini perlu dilakukan untuk memperjelas norma dalam pasal ini. Tidak perlu ada keterangan tambahan di dalam pasal ini bahwa APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara. Yang terpenting adalah penegasan mengenai prinsip-prinsip APBN.
103. Frase “memperhatikan pertimbangan” diganti dengan “persetujuan” dalam hal peran DPD dalam pemilihan anggota BPK. Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif mengandung fungsi anggaran dan pengawasan yang mempunyai keterkaitan erat dengan tugas BPK sebagai pemeriksa pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian nantinya DPR tidak lagi hanya memperhatikan pertimbangan DPD, melainkan harus menunggu apakah DPD setuju atau tidak dengan anggota BPK yang didipilih oleh DPR. Pemilihannya nanti tidak dibuat secara paralel ataupun bersamaan. Pemilihan yang selama ini dipraktekkan tetap dilakukan oleh DPR. DPD berproses tersendiri untuk menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya. Ketentuan teknis mengenai hal ini selanjutnya diatur dalam undang-undang. [tambahan: karena pengelolaan keuangan negara, uang rakyat, dan DPR dan DPD adalah wakil rakyat. Dan kenapa presiden tidak ikutan karena yang melaksanakan adalah presiden. Lihat di penjelasan UUD 1945
104. Frase “dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara” dihilangkan agar pembentukan dan penghapusan lingkungan peradilan tidak dikungkung oleh pasal-pasal dalam konstitusi.

Pasal 50
  1. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi serta mengadili pada tingkat pertama dan terakhir pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan tindak pidana berat dalam masa jabatan.(105)
  2. Mahkamah Agung mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 51
  1. Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
  2. Calon hakim agung diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dari calon-calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial, dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.(106)
  3. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
  4. Susunan, kedudukan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Pasal 52
  1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji peraturan perundang-undangan;(107) memutus pengaduan konstitusional;(108) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang; memutus pembubaran partai politik;(109) dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta pemilihan umum Gubernur, Bupati Dan Walikota.(110)
  2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

105. Pengadilan terhadap pejabat negara pada tingkat pertama dan terakhir dikenal dengan sebutan forum prevelegiatum. Instrumen ini telah dikenal dalam Pasal 106 UUDS 1950 yang berbunyi, ” Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota, Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota Majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang.
Maksud diadakannya ketentuan ini agar pejabat publik tidak disandera proses hukum yang terlalu lama karena kejahatan berat yang dilakukan, yang pada gilirannya akan merugikan rakyat. Undang-undang harus menjelaskan siapa saja yang dimaksud dengan pejabat negara. Saat ini belum ada undang-undang yang menyebutkan jabatan apa saja yang tergolong jabatan negara. Untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden berlaku pasal-pasal pemberhentian tersendiri secara khusus yang sekarang diatur dalam Pasal 7B. Yang dikategorikan tindak pidana berat saat ini adalah yang ancamannya lima tahun atau lebih. Frase ”tindak pidana berat” diambil dari bunyi Pasal 7B tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menyebutkan ”tindak pidana berat lainnya”.
106. Prinsipnya semua pejabat publik atau pejabat negara diajukan oleh Presiden kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Kendati demikian, dalam hal pengajuan calon-calon hakim agung, Presiden mengajukan nama-nama yang telah diseleksi oleh Komisi Yudisial. Dapat diatur dalam undang-undang bahwa Komisi Yudisial mengajukan sejumlah, misalnya, dua kali lipat dari kebutuhan. Namun, ketika menyampaikan nama-nama tersebut ke DPR, Presiden mengajukan hanya sejumlah yang dibutuhkan. Dalam hal ini DPR hanya menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap nama-nama yang diajukan, tidak mengadakan pemilihan. Bila DPR tidak setuju dengan nama tertentu, Presiden harus mengajukan nama lain. Itulah sebabnya, Komisi Yudisial harus menyeleksi lebih dari jumlah yang dibutuhkan.
107. UUD 1945 hasil empat kali perubahan (1999-2002) membagi kewenangan pengujian undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. MK menguji undang-undang dan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Ayat ini menyatukan pengujian undang-undang keMK. Dengan demikian, MK akan berfungsi sebagai mahkamah sistem hukum (court of law) dan MA berfungsi sebagai mahkamah keadilan (court of justice).
108. Pengaduan konstitusional (constitutional complaint) adalah pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyelenggara negara setelah semua upaya hukum melalui peradilan di MA ditempuh. MK tidak boleh mengadili perkara pengaduan konstitusional yang prosesnya masih berlangsung di MA. Terhadap pengaduan konstitusional, MK diberi kewenangan untuk melakukan dismissal process. Artinya, MK memiliki kewenangan untuk menentukan perkara mana yang akan diperiksa.
109. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan antara lain bahwa MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar. Dengan adanya ketentuan ini tidak hanya lembaga konstitusional yang dapat bersengketa di MK, melainkan juga lembaga-lembaga yang kewenanganya diberikan undang-undang. Hal ini untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum bila terjadi sengketa kewenangan lembaga negara di luar konstitusi.
110. Pasal ini merinci secara tegas jenis-jenis pemilihan yang menjadi kewenangan MK untuk diputus perselisihan hasilnya agar tidak memunculkan penafsiran tentang apa yang dimaksud dengan ”pemilihan umum”.

Pasal 53
  1. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi.
  2. Hakim konstitusi dipilih masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, dan tiga orang oleh Presiden dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, serta Presiden.(111)
  3. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
  4. Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
  5. Susunan, kedudukan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Pasal 54

Hak protokoler dan keuangan hakim diatur dalam undang-undang.

Pasal 55

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim diatur dalam undang-undang.
111. Bila sekarang MA, DPR, dan Presiden memilih tiga orang hakim konstitusi dari calon-calon yang diajukan masyarakat atau dicalonkan sendiri oleh lembaga yang bersangkutan, pasal ini menegaskan bahwa ketiga institusi hanya boleh mengajukan hakim konstitusi dari calon-calon yang telah diseleksi Komisi Yudisial. Perubahan lain, DPR harus mengajukan tiga orang hakim bersama DPD.

BAB XI
KOMISI NEGARA(112)
Pasal 56

Untuk menguatkan prinsip negara hukum dibentuk Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebebasan Pers yang bersifat mandiri.(113)

Pasal 57
  1. Komisi Pemilihan Umum berwenang menyelenggarakan pemilihan umum.(114)
  2. Anggota Komisi Pemilihan Umum mempunyai pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang pemilihan umum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(115)
  3. Anggota Komisi Pemilihan Umum diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.(116)

112. Bab mengenai Komisi Negara merupakan bab baru di dalam usulan amandemen konstitusi ini. Bab ini mengatur komisi-komisi negara yang dianggap perlu diatur di dalam konstitusi karena berkaitan dengan penguatan prinsip negara hukum, yaitu komisi-komisi yang mempertegas dan memperkokoh bangunan negara hukum, yaitu komisi yang mendorong dan menjaga: (1) sistem peradilan yang independen dan berintegritas, bersih dari praktik mafia peradilan; (2) perlindungan hak asasi manusia; (3) kebebasan pers; (4) pemilihan umum yang jujur dan adil; dan (5) terciptanya pemerintahan yang baik. Berdasarkan parameter ini, ada lima komisi yang diatur di dalam bab tentang Komisi Negara, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebebasan Pers. Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Yudisial sudah ada di dalam konstitusi sejak perubahan ketiga UUD 1945 pada 2001 dan keduanya dimasukkan ke dalam bab ini agar ada pola pengaturan yang konsisten dan memperjelas paradigma pengaturan usulan amandemen ini. Kemudian dimasukkan pula tiga komisi lainnya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebebasan Pers untuk menguatkan ketiga komisi ini.
Masuknya komisi negara ke dalam konstitusi menjadi semacam “trend” dalam konstitusi-konstitusi yang lahir pasca-1990-an terutama pada negara-negara yang baru lepas dari rezim yang menindas sebelumnya, seperti Afrika Selatan. Dasar pemikirannya adalah untuk menguatkan konsep bernegara di dalam konstitusi. Pengangkatan derajat beberapa komisi menjadi organ konstitusi juga strategis untuk mengantisipasi kemungkinan konflik. Dengan posisi sebagai organ konstitusi, komisi negara independen akan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Dipilihnya istilah “Komisi”, dan bukan “badan”, “lembaga”, atau yang lainnya, disebabkan pertimbangan teknis, administratif, dan konseptual. Pertimbangan teknis karena selama ini komisi-komisi tersebut memang diistilahkan dengan “komisi” sehingga tidak akan menimbulkan kebingungan di tingkat praktek/teknis. Pertimbangan administratif karena istilah “badan”, “lembaga”, dan lainnya mengandung konsekuensi-konsekuensi dalam administrasi pemerintahan. Pertimbangan konseptual karena literatur dan acuan lainnya mengenai konsep komisi independen ini pada umumnya memang menggunakan istilah “komisi”.
113. Lahirnya komisi-komisi independen merupakan jawaban atas realitas makin kompleksnya permasalahan ketatanegaan modern. Model pemisahan kekuasaan negara konvensional yang hanya mengasumsikan adanya tiga cabang kekuasaan di suatu negara – eksekutif, legislatif dan yudikatif – sudah tidak lagi menjawab kompleksitas negara modern. Karena itu diperlukan independent regulatory agencies untuk melengkapi institusi ketatanegaraan modern, dengan model relasi saling imbang-saling kontrol yang lebih lengkap di antara lembaga-lembaga negara (state organs).
114. Dalam UUD 1945 KPU diatur di dalam Bab VIIB mengenai Pemilihan Umum, dipindahkan ke bab ini untuk membuat UUD lebih sistematis dan konsisten dalam hal pengaturan. Sebagaimana keberadaannya selama ini, KPU diposisikan sebagai komisi negara yang mengawal pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil bagi hadirnya sistem ketatanegaraan yang akuntabel. Sementara klausul mengenai Pemilihan Umum diatur tersendiri.
115. Syarat yang diatur di sini adalah syarat yang prinsipil sementara ketentuan lebih lanjut akan ditentukan kemudian. Syarat integritas dan kepribadian yang tidak tercela menjadi keharusan bagi anggota semua Komisi Negara untuk memastikan karakter independen dari Komisi Negara. Sedangkan syarat memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang pemilihan umum merupakan syarat penting untuk memastikan efektivitas KPU dalam menjalankan wewenangnya.
116. Kerja KPU akan berkaitan langsung dengan kedua kamar di dalam lembaga legislatif, sehingga baik DPR maupun DPD perlu terlibat dalam mekanisme pemilihan anggota KPU.

Pasal 58
  1. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penindakan dan pencegahan dalam pemberantasan korupsi.(117)
  2. Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang pemberantasan korupsi serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(118)
  3. Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah.(119)
Pasal 59
  1. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi serta mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.(120)
  2. Anggota Komisi Yudisial mempunyai pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(121)
  3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah.(122)

117. KPK yang dimaksud di sini dengan perluasan sehingga tidak hanya seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dikenal sekarang (berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002). KPK yang diatur di sini dimaksudkan sebagai lembaga yang mengawal agenda good governance, termasuk terus menjaga Indonesia yang bebas dari korupsi melalui upaya pencegahan dan penindakan hukum.
118. Syarat yang diatur di sini adalah syarat yang prinsipil sementara ketentuan lebih lanjut akan ditentukan kemudian. Syarat integritas dan kepribadian yang tidak tercela menjadi keharusan bagi anggota semua Komisi Negara untuk memastikan karakter independen dari Komisi Negara. Sedangkan syarat memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang pemberantasan korupsi merupakan syarat penting untuk memastikan efektivitas KPK dalam menjalankan wewenangnya.
119. Diberikannya wewenang pemilihan anggota KPK kepada DPD, dan bukan DPR, didasarkan pada karakter DPD sebagai lembaga legislatif yang anggotanya bukan dari partai politik. Wewenang KPK dalam pemberantasan korupsi akan menyebabkan KPK rentan terhadap kepentingan politik. Dengan diberikannya wewenang pemilihan anggota KPK hanya pada DPD, diharapkan tawar menawar politik antara kandidat anggota dengan orang-orang yang memilihnya dapat diminimalisasi.
120. Pengaturan mengenai Komisi Yudisial yang sebelumnya terdapat dalam pasal-pasal mengenai kekuasaan kehakiman dipindahkan ke bab ini agar ada konsistensi pengaturan, terutama karena Komisi Yudisial sesungguhnya tidak termasuk dalam “kekuasaan kehakiman”. Dalam ayat ini diperjelas mengenai pengangkatan hakim konstitusi.
121. Sama halnya dengan pengaturan di atasnya, syarat integritas dan kepribadian yang tidak tercela menjadi keharusan bagi anggota semua Komisi Negara untuk memastikan karakter independen dari Komisi Negara.
Sedangkan syarat memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang hukum dimasukkan untuk efektivitas wewenang Komisi Yudisial.
122. Peran Komisi Yudisial sangat penting untuk menjaga independensi kekuasaan kehakiman, karena itu proses pemilihan anggotanya juga mesti diminimalisasi nilai politisnya. Oleh karena itulah, proses pemilihan diserahkan hanya kepada DPD sesuai dengan karakter DPD sebagai lembaga legislatif yang anggotanya bukan dari partai politik.

Pasal 60
  1. Komisi Hak Asasi Manusia berwenang untuk melindungi, memajukan, dan menegakkan hak asasi manusia.(123)
  2. Anggota Komisi Hak Asasi Manusia mempunyai pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang hak asasi manusia serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(124)
  3. Anggota Komisi Hak Asasi Manusia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah.(125)
Pasal 61
  1. Komisi Kebebasan Pers berwenang memajukan, menjaga, dan melindungi kehidupan pers yang bebas.(126)
  2. Anggota Komisi Kebebasan Pers mempunyai pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang pers serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(127)
  3. Anggota Komisi Kebebasan Pers diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.(128)


123. Komisi Hak Asasi Manusia diangkat keberadaannya dari UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, bukan hanya untuk menguatkan komisi ini secara hukum namun juga untuk membuatnya lebih “bergigi” dan luas cakupannya. Komisi Hak Asasi Manusia ini nantinya juga mempunyai divisi kerja perlindungan anak dan perempuan, sehingga Komisi Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan tidak lagi menjadi lembaga tersendiri.
124. Pola pengaturan ayat ini sama dengan pola pengaturan pasal-pasal di atasnya, yaitu memasukkan syarat integritas dan kepribadian yang tidak tercela agar karakter independen Komisi Negara terjaga. Serta dimasukkan pula syarat pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang hak asasi manusia guna memastikan efektivitas Komisi Hak Asasi Manusia.
125. Peran Komisi Hak Asasi Manusia akan sangat bersentuhan dengan kepentingan politik, karena itu proses pemilihan anggotanya juga mesti diminalisasi nilai politisnya. Karenanya, sama dengan proses pemilihan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi, pemilihan anggota Komisi Hak Asasi Manusia diserahkan hanya kepada DPD, sesuai dengan karakter DPD sebagai lembaga legislatif yang anggotanya bukan pengurus partai politik.
126. Komisi ini merupakan peleburan Dewan Pers Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia yang penting untuk menjaga prinsip kebebasan pers, termasuk dengan mengawasi pelaksanaan kebebasan pers ini. Masuknya Komisi Kebebasan Pers ini sejalan dengan masuknya pasal jaminan kebebasan pers di dalam Bab mengenai Hak Asasi Manusia. Usulan amandemen ini bermaksud menguatkan pers yang bertanggung jawab sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi.
127. Syarat integritas dan kepribadian yang tidak tercela agar karakter independen Komisi Negara terjaga, sedangkan syarat pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang pers menjadi syarat prinsipil guna memastikan efektivitas Komisi Kebebasan Pers.
128. Karena wewenangnya yang juga terkait dengan kebebasan pers yang bertanggung jawab, yang mencakup pengawasan atas pelaksanaan kebebasan pers, maka pemilihannya dilakukan oleh DPR yang merupakan perwujudan prinsip daulat rakyat (representasi penduduk). Pemilihan oleh DPR ini juga sesuai dengan karakter DPR yang lebih bersentuhan dengan masalah-masalah nasional dan teknis penyelenggaraan negara yang bersifat nasional.

Pasal 62

Susunan dan kedudukan komisi negara serta hak protokoler dan hak keuangan anggota komisi negara diatur dalam undang-undang.(129)

Pasal 63

Anggota komisi negara dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.(130)

129. Ketentuan ini dimasukkan untuk menegaskan adanya undang-undang yang nantinya akan mengatur lebih jauh dan rinci mengenai komisi-komisi negara ini.
130. Untuk memastikan independensinya, soal pemberhentian ini juga perlu diatur di dalam undang-undang.

BAB XII
WILAYAH NEGARA(131)
Pasal 64

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

BAB XIII
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Pasal 65
  1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
  2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
  3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Pasal 66(132)
  1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
  2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  3. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.


131. Bab dan Pasal tentang Wilayah Negara tidak dilakukan perubahan. Wilayah negara tidak mudah dirumuskan secara rinci dalam suatu konstitusi. Pengaturan wilayah dalam konstitusi juga dipengaruhi oleh faktor self-determination, yang memungkinkan sebagian wilayah terlepas dari negara induk atau bergabung dengan negara lain. Dari sudut pandang hukum internasional pun klaim Indonesia atas wilayahnya sudah sah walaupun hanya mengandalkan pada prinsip uti possidetis, sehingga upaya untuk menyatakan wilayah secara rinci dalam sebuah Undang-Undang Dasar merupakan hal yang mubazir. Perincian batas negara pada umumnya diatur dalam UU atau perjanjian dengan negara tetangga (bilateral treaty).
132. Hak yang khusus dimiliki oleh warga negara saja, di luar konteks hak penduduk dan HAM lintas negara.

BAB XIV
HAK ASASI MANUSIA(133)
Pasal 67
  1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
  2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
  3. Setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat.(134)
  4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
  5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 68(135)
  1. Setiap perempuan dianugerahi hak reproduksi dan berhak memperoleh pemenuhan kesehatan reproduksi yang baik.
  2. Setiap perempuan berhak atas perlindungan selama masa kehamilan dan masa pengasuhan anak.
Pasal 69(136)
  1. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang.
  2. Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 70

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

133. Pada bab HAM ini dilakukan tiga hal atas bab HAM sebelumnya, yaitu: Restrukturisasi, Reharmonisasi, dan Penambahan beberapa norma HAM baru (hak perempuan, hak pekerja, dan jaminan kebebasan pers). Masuknya bab tentang HAM pada tingkat konstitusi menunjukkan bahwa kehadiran konstitusi tidak lagi sebatas lingkup domestik, yaitu berbicara pada hak warga negara atau hak tiap penduduk negara, melainkan hak asasi setiap orang yang sifatnya lintas negara. Selama memiliki kepentingan hukum dengan negara tersebut, negara melalui konstitusi akan menjamin perlindungannya.
134. Lingkungan yang tidak sebatas lingkungan hidup tetapi juga ekologi secara keseluruhan termasuk air, tanah, dll.
135. Tentang Hak Perempuan ini merupakan komitmen bangsa mengimplementasikan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). Indonesia telah melakukan pengesahan atas konvensi ini yang telah dituangkan dalam UU NOMOR 7 TAHUN 1984 (baca: Konvensi Perempuan). Dalam konvensi ini disebutkan tegas bahwa negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya. Dalam pembukaan Konvensi Perempuan ini ditegaskan bahwa sumbangan besar kaum perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat selama ini belum sepenuhnya diakui arti sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam membesarkan anak-anak. Juga disadari peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi. Membesarkan anak-anak menghendaki pembagian tanggung jawab laki-laki, perempuan dan masyarakat.
136. Berasal dari Pasal 28B (hasil perubahan), yang menjelaskan bahwa pemisahan bahwa ayat satu berbicara tentang kehidupan dan ayat dua berbicara tentang perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan fisik.

Pasal 71(137)
  1. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
  2. Setiap orang berhak atas hubungan kerja yang adil.
  3. Setiap pekerja berhak untuk mendirikan, bergabung, dan berpartisipasi dalam serikat pekerja.
  4. Setiap pekerja mempunyai hak cuti dan mogok kerja.
Pasal 72

Setiap orang bebas memeluk agama dan kepercayaan serta beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Pasal 73
  1. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
  2. Setiap orang memiliki kebebasan menerima dan menyampaikan ide, kebebasan kreativitas seni, serta kebebasan akademis dan kebebasan ilmiah.
Pasal 74

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 75
  1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
  2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 76
  1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
  2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
  3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
  4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.


137. Dalam Sidang Konstituante, Fraksi Republik Reformasi mengungkapkan bahwa bagi kaum buruh, hak berdemonstrasi dan mogok merupakan suatu hak yang tidak boleh ditawar tawar lagi. Artinya hak “demonstrasi dan mogok” sedikitpun tidak boleh dikurangi. Oleh karenanya penting sekali kalau hak berdemonstrasi dan mogok dimuat dalam konstitusi. Kaum buruh merupakan tenaga pokok dalam proses produksi yang belum mendapatkan penghargaan sebagaimana mestinya. Upah dan jaminan sosial kaum buruh masih sangat rendah, sehingga seolah upah yang mereka terima semata untuk mempertahankan hidupnya dari mati kelaparan. Kedudukan kaum buruh sewaktu waktu juga dapat terancam, karena adanya pemecatan yang sewenang-wenang dari kaum majikan. Untuk mempertahankan kedudukannya, buruh memerlukan adanya hak demonstrasi dan mogok yang merupakan bentuk perlawanan dan senjata yang penting terhadap perlakuan yang tidak baik tersebut. Lihat juga Pasal 21 UUDS 1950.

Pasal 77

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Pasal 78(138)
  1. Negara, terutama pemerintah, wajib melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia.
  2. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 79
  1. Negara wajib menjamin kebebasan pers dan kebebasan media lainnya.(139)
  2. Negara wajib menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 80
  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.(140)
  3. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang belaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.(141)


138. Penegasan bahwa Pemerintah menjadi penanggung jawab pertama dan utama dalam menjamin hak-hak asasi manusia.
139. Kebebasan pers ini sesungguhnya sudah diperdebatkan pada sidang BPUPKI namun hingga empat perubahan konstitusi belum mendapatkan jaminan tegas. Konstitusi dengan empat perubahannya hanya menjamin hak menyampaikan pendapat, menerima, memperoleh informasi sebagai sebuah hak individual yang tidak mengkonseptualkan pers sebagai pranata kekuasaan keempat. Padahal kebebasan pers merupakan hak dasar dan merupakan pilar negara hukum, sehingga konstitusi harus menjaminnya secara tegas. Lim Koen Hian, salah seorang anggota BPUPKI, dalam sidang BPUPKI mengatakan: ”Dalam grondrechten yang diusulkan tidak hanya menyangkut kebebasan bersidang dan berkumpul, tetapi juga hak kemerdekaan buat drukpers, onschenbaarhedid van woorden. Kemerdekaan pers perlu sekali sebagai alat untuk sedikit-dikitnya mengurangi kejelekan daripada masyarakat. Dalam berbagai perkara tidak baiklah bertambah-tambah, tetapi dengan disinari oleh penerangan dari surat kabar, bisa dikurangkan kejelekan-kejelekan dari negara sama sekali”.
140. Hak konstitusional, baik hak asasi manusia, hak setiap warga negara, maupun penduduk negara hanya dapat dikurangi pemenuhannya oleh undang-undang. Namun, terdapat hak yang tidak dapat dikurangi yang lazim disebut dengan non-derogable rights.
141. Hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, oleh undang-undang dan putusan pengadilan sekalipun apalagi produk hukum lainnya atas dasar apapun. Kehadiran pasal ini adalah pengecualian guna penegasan bahwa hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

BAB XV
AGAMA
Pasal 81
  1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
BAB XVI
PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
Pasal 82
  1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.(142)
  2. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.(143)
  3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.(144)
  4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.(145)
  5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
BAB XVII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 83
  1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.(146)
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pasal 84
  1. Negara menjaga dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
  2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.


144. Komposisi TNI terdiri atas Angkatan darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, dengan tugas utama mempertahankan, melindungi, dan memelihara kutuhan dan kedaulatan negara. Salah satu aspek yang krusial dilakukan TNI dalam memeliharan keutuhan NKRI, adalah adanya fungsi teritorial yang dapat mendorong anggota TNI memasuki dunia politik seperti saat pemerintahan Orde Baru. Padahal, fungsi teritorial bukan fungsi politik karena sepenuhnya dimaksudkan untuk membentuk kekuatan pertahanan semesta. Belajar dari pengalaman masa lalu di mana TNI pernah digunakan sebagai alat kekuasaan dan membela kepentingan kekuatan politik tertentu, maka setelah perubahan UUD 1945 TNI (termasuk Polri) tidak dibenarkan lagi terlibat dalam kegiatan politik praktis, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga yang dikedepankan adalah menjadi TNI dan Polri yang profesional dalam mengurusi pertahanan dan keamanan negara, termasuk penegakan hukum oleh Polri.
145. Polri sebagai alat negara adalah aparat yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Polri menjalankan tugas pelayanan dan pengayoman masyarakat sebagai bagian dari tugas eksekutif, tetapi pada sisi lain juga menjalankan tugas penegakan hukum yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Dalam memerankan tugas penegakan hukum, Polri adalah bagian dari ”criminal justice system” tetapi tidak termasuk fungsi yudikatif, karena hanya pengadilan yang termasuk Badan Yudikatif. Ini yang membuat Polri harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (termasuk presiden, menteri, atau gubernur).
146. Perlindungan, pemajuan dan penegakan hak ini hanya kepada warga negara saja oleh karenanya ditegaskan istilah “setiap warga negara”.

BAB XVIII
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 85
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  3. Seluruh kekayaan alam dan lingkungan yang terkandung dalam wilayah kedaulatan, hak-hak berdaulat dan kewenangan Indonesia, baik di darat maupun di laut, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya serta udara di atasnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.(147)
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keber­samaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 86
  1. Fakir, miskin, penyandang cacat, dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.(148)
  2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
  3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas sosial, pelayanan kesehatan, dan fasilitas pelayanan umum lainnya yang layak.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
BAB XIX
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
Pasal 87

Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Pasal 88

Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.

Pasal 89

Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Pasal 90

Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.

Pasal 91

Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.

BAB XX
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR(149)
Pasal 92
  1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam forum majelis permusyawaratan rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 1/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah.(150)
  2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.(151)
  3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, forum majelis permusyawaratan rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah.(152)
  4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang hadir dalam forum majelis permusyawaratan rakyat.(153)
  5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.(154)


147. Pasal 33 UUD berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Perubahan dilakukan untuk memperjelas bahwa yang diatur adalah seluruh kekayaan alam dan lingkungan yang terkandung dalam wilayah Indonesia. Sedangkan penambahan frase “termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya serta udara di atasnya” ditambahkan sesuai dengan perkembangan teknologi dan hukum internasional, untuk memperjelas konsep kepemilikan negara atas seluruh wilayah negara.
148. Ditambahkan “penyandang cacat” sebagai kelompok yang juga wajib dipelihara oleh negara berdasarkan konstitusi karena pasal ini dimaksudkan untuk memasukkan dengan tegas kelompok-kelompok rentan yang wajib diperhatikan nasibnya oleh negara.
Kata “fakir” dan “miskin” dipisahkan karena sesungguhnya kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda. Kata “fakir” berasal dari bahasa Arab berarti orang yang masihmampu berusaha tetapi usahanya itu tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sedangkan “orang miskin” adalah orang yang tidak mampu berusaha sama sekali untuk memenuhi kebutuhan minimum hidupnya sehari-hari (Asshidiqie, 1994). Karena itu kata-kata fakir, miskin, dan anak terlantar sebaiknya dipisah satu sama lain.
149. Pengaturan tentang perubahan Undang Undang Dasar merupakan ketentuan yang dijadikan dasar untuk melaksanakan perubahan. Ketentuan ini memuat alasan serta tata cara yang dapat ditempuh dalam melakukan perubahan UUD.
150. Perubahan ketentuan dalam ayat ini didasarkan perubahan sistem lembaga perwakilan yang menempatkan majelis permusyawaratan rakyat sebagai forum joint session, sehingga kewenangan untuk mengajukan usul perubahan ada pada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Penentuan adanya quorum dari pengajuan usulan dari jumlah anggota DPR dan DPD didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi di samping adanya keseimbangan dalam antara kedua lembaga perwakilan untuk dapat mengajukan usul perubahan.
151. Pengajuan usulan perubahan terhadap UUD harus dijelaskan bagian yang diubah beserta alasan, baik alasan historis, filosofis, yuridis, dan teoritis serta politis.
152. Lihat catatan kaki angka 150.
153. Lihat catatan kaki angka 150.
154. Tidak dilakukan perubahan, sesuai dengan prinsip dalam melakukan perubahan yang tetap mempertahankan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan.

ATURAN PERALIHAN(155)
Pasal I

Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Pasal II

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

ATURAN TAMBAHAN(15)
Pasal I

Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.

155. Dalam ilmu hukum, aturan peralihan (transitoirrecht) dan aturan tambahan merupakan suatu keniscayaan guna menghindarkan terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacum) sekaligus penghubung dari diberlakukannya dua sistem hukum baru yang berkualifikasi berbeda. Berkaitan dengan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan hasil perubahan keempat yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung” diusulkan untuk dihapus. Karena, Mahkamah Konsitusi secara ekplisit telah diatur dalam pasal-pasal UUD di samping ketentuan Pasal III ini bersifat einmalig.
156. Aturan Tambahan dalam perubahan ini diusulkan menjadi satu pasal. Sedangkan Pasal I dari hasil Perubahan Keempat UUD 1945 yang berbunyi:“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003” diusulkan untuk dihapus karena perintah UUD kepada MPR untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR/S sudah dilaksanakan (einmalig).